Kultur riset dan penelitian
Victory News Jumat, 13 April 2012
SELAIN sebagai institusi yang mentransfer pengetahuan melalui pengajaran, perguruan tinggi seharusnya sebagai institusi dimana ilmu pengetahuan diproduksi. Namun, patut disayangkan fungsinya untuk memproduksi ilmu pengetahuan atau pemasok ilmu pengetahuan melalui kegiatan riset masih jauh panggang dari api. Padahal, melalui riset, perguruan tinggi menambahkan kapasitas pengetahuan manusia yang berkontribusi terhadap pembangunan sosial dan ekonomi Kondisi perguruan tinggi di NTT juga masih sama. Aktivitas riset belum menggeliat. Meskipun perguruan tinggi di NTT memiliki dosen potensial. Buktinya, bila publikasi internasional dijadikan indikator, berdasarkandata dari Scopus per Desember 2011, terdapat dosen dari perguruan tinggi di NTT yang mempublikasi hasil penelitiannya di jurnal internasional. Misalnya, jumlah publikasi internasional oleh dosen Undana, sudah lebih dari 30 publikasi. Walaupun sedikit, jumlah ini lebih banyak dari jumlah publikasi dari beberapa universitas, di antaranya Universitas Sanata Darma dan Universitas Bina Nusantara yang jumlah publikasinya baru 15 artikel.
Namun, bila ditelusuri dari tahun publikasi, diketahui bahwa sebagian besar dari mereka mempublikasikan karyanya tersebut saat sedang studi. Ketika kembali mengabdi diperguruan tinggi asalnya, mereka tidak lagi dapat mempublikasikan hasil penelitian di jurnal internasional. Jadi sebenarnya mereka memiliki kemampuan meneliti (dosen peneliti potensial). Oleh sebab itu, yang diperlukan hanyalah merangsang mereka untuk terus melakukan penelitian.
Sudah banyak tulisan yang membahas tentang masalah lemahnya riset perguruan tinggi dan turunannya. Meskipun pemerintah berupaya memperbaiki kondisi ini, sampai saat ini belum berubah. Pengajaran masih menjadi prioritas. Pertanyaannya sekarang bagaimana memperkuat kapasitas riset perguruan tinggi kita? Apa yang mesti dilakukan elite perguruan tinggi untuk merangsang dosen untuk melakukan riset?
Kultur Riset
Jawaban terhadap kedua pertanyaan tersebut adalah menumbuhkan budaya riset. Kita sependapat bahwa riset belum menjadi budaya diperguruan tinggi Indonesia. Padahal hanya universitas dengan kultur riset yang telah mengakar kuat mampu memproduksi ilmu pengetahuan yang beranjak dari tradisi ilmiah yang diakui. Pratt (1999) mengatakan bahwa budaya riset yang mengakar kuat di mana kepercayaan, sikap dan nilai-nilai yang dianut oleh tiap anggota suatu institusi secara luas dibagikan dan diterima oleh semua anggota institusi. Karenanya, memperkuat budaya riset perguruan tinggi adalah mengubah kepercayaan, sikap dan nilai-nilai yang dipegang oleh para dosen terhadap riset itu sendiri. Sebab, sampai saat ini, mesti diakui bahwa bagi kebanyakan dosen, penelitian bukanlah aktivitas penting. Penelitian sering dianggap beban, bukan kebutuhan. Maka tak heran prioritas mereka mengajar saja. Oleh sebab itu, dengan perubahan cara pandang terhadap riset, prioritasnya berubah yakni bukan mengajar saja, tetapi juga meneliti.
Untuk memperbaiki universitas termasuk dalam riset diperlukan seorang pemimpin yang berupaya membangun akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan universitas. Ini penting untuk membangkitkan `trust’ (kepercayaan) tiap individu dalam universitas—dosen dan pegawai–kepada pemimpinnya. Sebab, dosen adalah ujung tombak pelaksanaan riset dan pegawai bertanggung jawab dalam urusan administrasi. Kepercayaan ini penting sebab relasi kepercayaan antara pemimpin dan staf berperan dalam perbaikan universitas. Kepercayaan dari staf universitas menstimulasi harapan dan keinginan mereka untuk merubah pandangan, sikap dan nilai-nilai yang mereka anut terhadap riset, sehingga mereka bekerja sesuai tugas yang diberikan. Dosen mengerjakan riset dengan serius, bukan asal-asalan hanya untuk memenuhi kredit penelitian yang digunakan nanti untuk urusan kenaikan pangkat.
Selain itu, seorang pemimpin diperguruan tinggi juga mesti memiliki kemampuan menjembatani antara periset berpengalaman dan periset pemula (potensial). Diakui atau tidak, masalah yang dihadapai oleh kebanyakan universitas adalah peneliti berpengalaman tidak mempercayai peneliti pemula (potensial) untuk membantu penelitian yang sedang dikerjakannya. Akibatnya, periset pemula (potensial) tidak memiliki kesempatan yang cukup untuk mempertajam potensi risetnya. Bila kondisi ini dibiarkan, proses regenerasi periset universitas tidak berjalan dan keadaan ini bisa meruntuhkan semangat dosen/periset potensial untuk melakukan riset berkualitas. Konsekuensinya, universitas tidak memiliki periset berpengalaman dimasa mendatang. Apalagi jumlah dosen peneliti diperguruan tinggi juga masih sedikit. Buktinya, menurutsurvey SCImago jumlah publikasi internasional dosen Indonesia sebanyak 9.149 tulisan dalam rentang waktu 1996-2008 dari total jumlah peneliti di perguruan tinggi di Indonesia sebanyak 84.522 orang. Belum lagi kalau ditelusuri siapa saja peneliti yang mempublikasikan karya-karyanya. Jika satu peneliti mempublikasikan lebih dari satu paper, maka jumlah dosen peneliti kurang dari jumlah tulisan. Artinya, jumlah dosen peneliti sangat sedikit dibandingkan total dosen. Realitas ini terjadi di tiap perguruan tinggi termasuk di wilayah barat Indonesia.
Bertahap
Perlu kiranya dimengerti bahwa semua harus dimulai secara bertahap. Untuk sekarang ini, dengan kondisi keterbatasan yang dipunyai, kita tidak harus memaksa untuk publikasi internasional. Yang penting adalah membangun kebiasaan meneliti di perguruan tinggi sehingga aktivitas riset menggeliat dan budaya riset perguruan tinggi terbangun. Harapannya, dosen mulai terangsang untuk terus meneliti. Untuk awalnya, target publikasinya juga tak perlu muluk-muluk. Publikasi di jurnal nasional terakreditasi saja sudah cukup. Saya berpendapat ini target realistis. Alasannya, setiap tahun peneliti perguruan tinggi di NTT berhasil memperoleh dana penelitian yang telah dialokasikan pemerintah. Dana ini diperoleh karena penelitian dianggap memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Jadi, ini berarti bahwa peluang mempublikasikan hasil penelitiannya nanti di jurnal nasional terakreditasi sangat terbuka.
Selanjutnya, seiring berkembangnya riset diperguruan tinggi dan ilkim riset yang telah terbangun, barulah kita memikirkan dan berupaya mempublikasikan hasil penelitian di jurnal internasional. Karena semua dilakukan bertahap dan terencana serta budaya riset perguruan tinggi yang telah terbentuk, kita nantinya tidak kaget dan ‘merasa dipaksa’ untuk memenuhi nafsu para elite pendidikan negeri ini yang mewajibkan kita untuk mempublikasikan hasil penelitian di jurnal internasional. Saya kira perguruan tinggi di NTT berpotensi melakukan penelitian-penelitian berkualitas. Harapan itu tetap ada selama kita punya kemauan dan mau bekerja dengan serius untuk memajukan pendidikan kita.
Oleh: Meksianis Z. Ndii. Tulisan dibuat saat sedang di Bandung.
No comments:
Post a Comment
Thanks for leaving your for valuable comments here
(timor Domini principium scientiae)